TIMES CILEGON, JAKARTA – Psikolog Novi Poespita Candra dari Universitas Gadjah Mada (UGM) memberikan penilaiannya bahwa fenomena pejabat yang kerap melakukan flexing atau memamerkan kekayaan secara berlebihan berpotensi mengurangi tingkat kepekaan sosial mereka.
“Dampak perilaku itu bagi diri mereka sendiri menyebabkan kecanduan jika dilakukan terus menerus dan lupa dengan kepekaan sosial,” kata Novi, ketika dihubungi di Jakarta, Senin (1/9/2025).
Menurut pendapatnya, kebiasaan tersebut dapat membuat seorang pejabat lupa untuk mencari makna yang lebih dalam, di mana seharusnya pencapaian tertinggi bukan terletak pada materi melainkan pada aspek spiritual, yaitu dengan mengabdi kepada masyarakat yang termarjinalkan.
Fenomena dimana sejumlah pejabat sering memamerkan kekayaannya, ungkap Novi, mungkin merupakan sebuah bentuk untuk menunjukkan eksistensi diri.
“Ada penelitian yang menemukan bahwa manusia yang senang berbelanja dan menunjukkan kekayaannya adalah salah satu cara memunculkan rasa senang dan kepuasan,” tutur dia.
Novi menjelaskan bahwa untuk merasakan kebahagiaan, manusia memerlukan empat hormon kebahagiaan, yaitu dopamin (yang terkait dengan pencapaian dan pengakuan), oksitosin (yang berasal dari rasa cinta dan penerimaan), serotonin (yang berkaitan dengan kebermaknaan), dan endorfin (yang menimbulkan perasaan gembira).
Dalam konteks ini, terdapat orang yang mampu menemukan kebahagiaan melalui keseimbangan antara pencapaian, penerimaan, makna, dan kegembiraan.
Novi menilai bahwa fenomena flexing yang dilakukan pejabat mengindikasikan adanya kecenderungan untuk hanya berfokus pada pencarian dopamin.
“Ada yang tahunya hanya mengejar capaian dan pengakuan saja (dopamin). Nah pejabat yang memamerkan materinya merasa bahwa itu adalah capaiannya yang patut dibanggakan,” jelas dia.
Novi menambahkan bahwa seorang pejabat atau pemimpin idealnya dapat menyikapi posisinya dengan kapasitas intelektual yang mumpuni. Dengan demikian, setiap tindakan yang diambil didasari oleh pertimbangan etika yang dibangun di prefrontal cortex otak, bukan oleh keinginan atau emosi sesaat yang berasal dari limbic system.
“Untuk membangun nalar etika dibutuhkan kompetensi belajar terus menerus, keberpikiran tingkat tinggi sehingga sebelum berperilaku tertentu mereka mampu berpikir dampak bagi masyarakatnya,” ujar dia.
Sebelumnya, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Jendral Polisi (purn) Tito Karnavian telah meminta kepada seluruh pejabat di daerah untuk menerapkan gaya hidup yang sederhana dan menghindari perilaku flexing atau gemar pamer agar dapat memperoleh dan menjaga kepercayaan dari masyarakat. (*)
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: Psikolog Nilai Flexing Pejabat Turunkan Kepekaan Sosial dan Abaikan Spiritualitas
Pewarta | : Antara |
Editor | : Faizal R Arief |