TIMES CILEGON, JAKARTA – Perlombaan menuju Bulan kembali memanas. Amerika Serikat dan Tiongkok kini bersaing untuk menjadi yang pertama menjejakkan kaki di Bulan pada akhir dekade ini — AS menargetkan tahun 2028, sementara Tiongkok menyusul dua tahun kemudian.
Namun, kompetisi ini bukan sekadar urusan prestise atau eksplorasi ilmiah, melainkan juga perebutan sumber daya alam bernilai tinggi yang tersimpan di satelit alami Bumi itu.
Menurut Mustafa Bilal, peneliti dari Centre for Aerospace & Security Studies di Islamabad, sejumlah perusahaan swasta tengah berlomba mengeksplorasi potensi tambang Bulan.
Salah satu contohnya datang dari perusahaan kriogenik asal Helsinki, Bluefors, yang baru saja menandatangani kesepakatan dengan startup antariksa Interlune untuk membeli hingga 10 ribu liter helium-3 dari Bulan. Nilai kontrak ini diperkirakan mencapai US$300 juta.
Helium-3, "Emas Putih" dari Bulan
Helium-3 merupakan isotop stabil dari helium yang sangat langka di Bumi, tetapi relatif lebih banyak ditemukan di Bulan. Zat ini terbentuk akibat paparan angin surya terhadap permukaan Bulan yang tidak memiliki atmosfer pelindung. Nilainya sangat tinggi karena dapat digunakan sebagai bahan bakar reaktor nuklir atau pendingin komputer kuantum, dua teknologi masa depan yang strategis.
Namun, misi menambang helium-3 bukan perkara mudah. Interlune harus membuktikan bahwa proyek tersebut layak secara ekonomi. Menurut laporan Forbes, tim penambang mungkin harus menggali jutaan ton debu Bulan (regolith) hanya untuk mendapatkan jumlah isotop yang cukup. Selain itu, biaya pengiriman alat berat ke Bulan sangat mahal, menjadikannya investasi berisiko tinggi.
Interlune dilaporkan berencana mengirim kamera multispektral ke permukaan Bulan melalui wahana Astrobotic Griffin-1 tahun depan untuk memetakan kadar helium-3 di regolith. Langkah ini diharapkan menjadi awal dari “demam emas” baru — kali ini bukan di Bumi, melainkan di Bulan.
Bukan Satu-satunya Pemain
Interlune bukan satu-satunya perusahaan yang membidik sumber daya Bulan. Raksasa antariksa milik Jeff Bezos, Blue Origin, juga telah menandatangani kesepakatan untuk memetakan potensi helium-3 dan es air dari orbit Bulan. Tujuannya adalah menilai kelayakan cadangan dan memanfaatkannya langsung di lokasi.
“Selain helium-3, es air di Bulan juga menjadi sumber daya penting karena dapat diolah menjadi air minum, oksigen, hingga bahan bakar roket,” tulis Bilal dalam opini yang dimuat SpaceNews. “Meski menghadapi tantangan teknis luar biasa, kombinasi kepentingan negara dan swasta terus mendorong komersialisasi pertambangan Bulan.”
Siapa yang Akan Menang dalam “Perlombaan Baru” Ini?
Bagi banyak pengamat, kemampuan mengelola sumber daya seperti helium-3 bisa menentukan siapa yang akan menguasai Bulan dalam jangka panjang. Pembangunan pangkalan permanen di Bulan, misalnya, membutuhkan energi besar yang tidak bisa sepenuhnya bergantung pada panel surya karena malam di Bulan berlangsung dua minggu waktu Bumi.
“Negara pertama yang berhasil mengoperasikan reaktor nuklir di Bulan bisa saja menetapkan zona aman yang secara de facto membatasi akses pihak lain,” tulis Bilal. “Hal itu bisa menjadi preseden bagi aturan hukum luar angkasa di masa depan.” (*)
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: Amerika dan Tiongkok Adu Cepat Kuasai Tambang Helium-3 di Bulan
| Pewarta | : Wahyu Nurdiyanto | 
| Editor | : Wahyu Nurdiyanto |